Perilaku Pelanggan Apotek: Sering Tidak Rasional, Tapi Selalu Masuk Akal

Jan 21, 2022

Delapan tahun lalu, saya pernah memperkerjakan seorang ART (Asisten Rumah Tangga) yang agak berumur. Panggilannya “Bik Sit” (kependekan dari Siti). Usianya saat itu mungkin 50-an tahun. Buta huruf. Salah satu tugasnya adalah menemani anak saya kalau kedua orang tuanya sedang di luar. Waktu itu anak pertama saya masih berusia di bawah satu tahun. Sebenarnya tidak ada yang salah dari Bik Sit, tapi dia terlihat sering sakit, terutama sakit batuk. Karena kami takut anak tertular batuk (apakah batuk biasa, atau jangan-jangan ia mengidap TBC?), saya menyarankan Bik Sit untuk berobat, tentunya agar tahu sumber masalahnya dan ia sehat kembali. Tapi ia selalu menolak untuk berobat dan hanya titip obat jika saya pergi ke luar dan obatnya sedang habis. Nama obat yang ia gunakan: Dexamethasone. Karena nama obatnya susah diucapkan, ia selalu menyimpan bungkus obat ini untuk ditunjukkan ke orang-orang.


Istri saya seorang apoteker yang tentunya tahu kalau mengkonsumsi obat dalam jangka waktu yang lama, apalagi Dexamethasone yang merupakan golongan Steroid, bukanlah hal yang disarankan. Steroid adalah obat keras, semestinya didapat hanya dengan resep dokter, dan bersifat mengurangi gejala dari penyakit. Kalau Bik Sit misalnya mengidap TBC atau penyakit kronis lainnya, tentunya tidak akan sembuh dengan Dexamethasone. Tapi Bik Sit, yang tidak bisa baca-tulis, tidak pernah mau mendengar saran dari seorang apoteker profesional dan berlisensi seperti istri saya. Ia hanya tahu bahwa obat yang ia sering minum adalah obat yang ampuh untuk batuknya.


Banyak konsumen obat dari berbagai kalangan yang berperilaku seperti Bik Sit. Riset kecil yang saya pernah lakukan di apotek memperlihatkan bahwa, dari 100 orang yang datang ke apotek, lebih dari 60% di antaranya sudah tahu persis obat apa yang mereka mau beli, tanpa membawa resep atau berkonsultasi dengan petugas apotek. Separuh di antaranya bahkan membeli obat keras yang semestinya hanya boleh ditebus dengan resep dokter. Tidak seperti obat-obat OTC (over the counter) yang dijual bebas, obat-obat keras ini tidak pernah diiklankan di media massa. Kadang saya berpikir, dari mana mereka tahu tentang obat seperti Allopurinol (untuk asam urat), Simvastatin (penurun kolesterol), Tetracycline (antiobiotik), atau Cataflam (anti-nyeri dan inflamasi, sering digunakan untuk sakit gigi)?


Ada dua penyebab. Beberapa pelanggan mengaku mereka pernah diresepkan obat ini oleh dokter untuk gejala yang sama, tapi mereka tidak mau ke dokter lagi karena ‘toh akan diberikan obat ini lagi’. Sebagian membeli obat tertentu karena saran dari teman atau saudara, yang merasa cocok dengan obat yang sama (“obatnya cespleng”). Tentunya ini hal yang sebenarnya bisa sangat berbahaya. Tubuh tiap orang berbeda-beda dan bisa jadi membutuhkan obat yang berbeda. Bahkan orang yang sama pun kondisinya bisa berubah, dan “gejala yang sama” belum tentu berarti sakitnya juga sama. Hampir setiap obat punya efek samping, yang bisa jadi fatal jika tubuh terpapar zat yang sama secara rutin. Belum lagi risiko ketergantungan, terutama dari obat-obatan painkiller yang dosisnya setiap kali harus ditambah karena ambang rasa sakit telah berubah.


Sebelum kita menyalahkan pelanggan atau menyalahkan sebagian apotek yang selama ini melakukan pembiaran atas praktek ini, ada baiknya kita coba selami mengapa fenomena ini bisa terjadi, dari sudut pandang pelanggan.


Masalah yang paling umum adalah jumlah dokter di Indonesia masih sangat terbatas. Hanya tersedia 0,4 dokter untuk tiap 1.000 penduduk, angka yang kedua terendah di Asia Tenggara setelah Kamboja, itu pun dengan distribusi yang tidak merata antara kota dan desa. Biaya pengobatan, walau pun sebenarnya telah sangat terjangkau melalui mekanisme BPJS, tapi masih menjadi hambatan. Dalam situasi dimana biaya tidak menjadi masalah, pergi ke dokter merupakan aktivitas yang cukup menyita waktu, apalagi jika masih harus antri. Untuk masyarakat, terutama mereka dengan ekonomi menengah ke bawah, waktu merupakan sesuatu yang berharga karena warung harus tetap buka dan sawah tetap harus digarap. Mengkomunikasikan keluhan ke dokter juga kadang menjadi hal yang mengintimidasi, terutama bagi mereka yang merasa kurang berpendidikan. Jauh lebih mudah, cepat, dan murah untuk meminta saran dari teman, lalu pergi ke apotek terdekat untuk membelinya. Harga Dexamethasone per butirnya hanya Rp 200 saja, masih lebih murah daripada ongkos parkir motor, dan tentunya lebih terjangkau daripada berkonsultasi ke dokter untuk mendapatkan resep.


Seperti semua fenomena sosial, tidak ada solusi instan atas permasalahan ini. Pengawasan yang terlalu melekat dari instansi pemerintah bukanlah sesuatu yang praktis untuk dilakukan. Bahkan di negara-negara maju pun, penyalahgunaan obat dalam bentuk berbeda dan skala besar masih sering terjadi, termasuk dalam kasus opioid crisis di Amerika Serikat belakangan ini. Perkembangan dunia farmasi yang demikian pesat menyebabkan regulator di sana tidak sanggup mengantisipasi dampak dari kebijakan pelonggaran peresepan obat yang mereka terapkan. Di Indonesia, tantangannya pasti jauh lebih besar lagi[1], belum lagi jika ada tentangan dari perusahaan-perusahaan farmasi yang tentunya punya kepentingan komersial di sini.


Lalu, apa yang bisa dilakukan oleh apotek-apotek yang punya aspirasi untuk berorientasi pelanggan? Apakah pelanggan serta-merta adalah raja, apa pun permintaan mereka?


Ada paling tidak tiga hal yang bisa dicoba oleh apotek untuk menyelaraskan antara keinginan pelanggan saat ini dengan hal yang sebenarnya lebih penting, yaitu kesehatan mereka dalam jangka panjang:


  1. Mencegah kasus-kasus ekstrem. Pastikan siapa pasien yang akan mengkonsumsi obat-obatan itu, dan apakah mereka punya kondisi khusus (hamil, menyusui, usia lanjut, kanak-kanak, atau punya penyakit kronis).
  2. Memberikan pilihan obat OTC (atau obat keras yang lebih ringan) sebagai alternatif.
  3. Memastikan pelanggan tahu efek samping obat, cara mengkonsumsi yang benar, dan apa yang mesti dilakukan jika kondisi pasien tidak membaik.


Dari aspek bisnis apotek, ada harga yang mesti dibayar untuk ketiga aktivitas ekstra di atas. Staf apotek harus menyediakan waktu lebih untuk pelayanan. Pengelola apotek juga harus mengalokasikan waktu lebih untuk memberikan bekal pengetahuan tentang obat yang lebih kepada semua staf. Apakah biaya yang dikeluarkan untuk semua ini akan sebanding dengan potensi tambahan bisnis yang akan didapatkan?


Sejauh ini belum ada riset yang bisa menyimpulkan secara empiris mengenai keuntungan atau kerugian dari melakukan investasi pada SDM apotek. Semuanya kembali ke pilihan dari masing-masing apotek. Hanya saja, ada beberapa hal yang perlu dipikirkan dalam mengambil keputusan ke mana kita sebagai apotek seharusnya melangkah:


  • Jika kita adalah pelanggan, apakah kita sudah nyaman dengan pilihan obat yang akan dibeli (berdasarkan saran sesama orang awam), ataukah sebenarnya kita membutuhkan saran dari profesional medis yang mengerti obat-obatan?
  • Apakah kita akan menjadi apotek yang ikut bertanggung jawab atas penyebaran sebuah fenomena yang negatif, ataukah kita bisa menjadi apotek modern yang menempatkan kesehatan jangka panjang di atas keuntungan jangka pendek?
  • Pelanggan tidak akan datang ke apotek hanya sekali dan hanya untuk satu gejala penyakit ini saja. Mereka yang datang karena sakit gigi dan saat ini yakin ingin membeli Cataflam, mungkin bulan depan akan datang lagi dengan gejala alergi dan tidak tahu mesti membeli obat apa. Apakah pelanggan ini akan datang ke apotek yang ia tahu akan memberikan saran dan pilihan alternatif obat, ataukah ia akan datang ke apotek lain yang tidak bisa memberikan saran?


Dalam buku The Psychology of Money, penulis Morgan Housel membedakan antara hal yang dianggap rasional, yang tepat sesuai dengan textbook dan hal yang dianggap reasonable, yaitu hal yang paling masuk akal yang dilakukan oleh masyarakat. Housel tentunya melakukan pembahasan dari sudut pandang industri keuangan. Akan tetapi, banyak kesimpulan yang ia tarik yang juga bisa diterapkan di dunia kesehatan. Berobat ke dokter dan mendapatkan obat yang tepat adalah hal yang rasional, tapi tidak masuk akal bagi sebagian besar orang yang tidak punya akses yang baik ke rumah sakit, dokter, atau pun informasi kefarmasian.


Mari kita mulai pekerjaan besar ini dengan melihat kebutuhan akan obat dari kacamata pelanggan, karena menunggu hingga jumlah dokter di Indonesia memadai memerlukan jumlah dokter 3–4x lipat dari sekarang, yang paling cepat akan terjadi 15–20 tahun dari sekarang. Sebelum itu tercapai, tanggung jawab ini mau tidak mau dipikul oleh apotek.


Pelanggan seperti Bik Sit tidak hanya ada satu orang di Indonesia, tapi ada jutaan orang seperti mereka. Tim Farmacare punya aspirasi untuk mendukung apotek-apotek di Indonesia untuk meningkatkan kapasitas mereka agar bisa melayani pelanggan-pelanggan seperti Bik Sit dengan lebih baik lagi.


[1] Salah satu ide yang lumayan praktis secara implementasi tapi mungkin akan sulit diterima oleh industri: mewajibkan pelampiran efek samping obat keras secara eksplisit di kemasan obat. Saat ini, obat keras biasanya dijual dalam bentuk strip tanpa informasi efek samping yang lengkap dan jelas karena diasumsikan hanya akan dibeli dengan resep dokter, padahal kenyataannya tidaklah demikian.

Permodalan Obat di Apotek
04 Dec, 2023
Pengadaan obat di apotek membutuhkan modal yang tidak sedikit. Farmacare punya solusi untuk tantangan tersebut. Temukan di sini!
Pengadaan Obat di Apotek
oleh ditulis oleh Gina Dwi 30 Nov, 2023
Tingkat efektivitas pengadaan obat di apotek bisa diukur menggunakan beberapa tolak ukur yang bisa kamu temukan di sini! Simak, yuk!
Mitos atau Fakta Penggunaan Obat
oleh Farmacare CX 27 Nov, 2023
Selamat Hari Kesehatan Nasional. Yuk, maksimalkan edukasi ke masyarakat dengan meluruskan mitos atau fakta penggunaan obat berikut!
Pengadaan Barang di Apotek
oleh ditulis oleh Gina Dwi 23 Nov, 2023
Bagaimana kamu tahu kalau pengadaan barang di apotek sukses? Berikut tolak ukur yang bisa diperhatikan. Simak, yuk!
Pengadaan Barang di Apotek
oleh ditulis oleh Gina Dwi 20 Nov, 2023
Bagaimana kamu tahu kalau pengadaan barang di apotek sukses? Berikut tolak ukur yang bisa diperhatikan. Simak, yuk!
Bisnis Apotek
oleh ditulis oleh Gina Dwi 16 Nov, 2023
Overstock, understock, dan deadstock sebaiknya bisa diminimalisir agar bisnis apotek tetap sehat. Yuk, cari tau tentang jenis status stok tersebut di sini!
Golongan Obat
13 Nov, 2023
Penanganan golongan obat keras harus diperhatikan agar kualitasnya terjamin dan tak berpotensi disalahgunakan. Yuk, simak tips-nya di sini!
Obat Kedaluwarsa di Apotek
31 Oct, 2023
Obat kedaluwarsa di apotek wajib dihindari karena sangat berbahaya bila sampai ke tangan konsumen. Apa bahayanya dan gimana tips pencegahannya? Simak di sini!
Harga Jual Obat
27 Oct, 2023
Ada beberapa unsur yang mempengaruhi harga jual obat di apotek. Kira-kira apa saja? Yuk, cari tahu di sini beserta cara menghitungnya!
Postingan Lainnya
Share by: